ditulis oleh Darmintra Tandrawijaya, 18 Oktober 2019
Pada saat saya menjalani sebuah interview di suatu perusahaan yang berlokasi di Jakarta beberapa waktu yang lalu, ada satu pertanyaan dari sang interviewer “Coba ceritakan kesulitan terberat apa yang pernah kamu alami dan bagaimana cara kamu mengatasinya?” mendengar hal tersebut pun saya terbawa flash back di tahun 2015 di mana rumah keluarga kami terpaksa harus dijual untuk menutupi hutang keluarga akibat usaha ayah yang terlalu banyak berhutang dan saya yang saat itu masih berjuang untuk lulus kuliah menjadi kehilangan motivasi untuk lulus, dan juga untuk hidup. Kami sekeluarga terpaksa harus tinggal saling terpisah : ibu dan adik saya menyewa apartemen murah di daerah Daan Mogot, ayah tinggal di Kapuk (tidur di pabrik tempat usahanya), dan saya pun tinggal dengan keluarga paman.
Saya pun menyimpan kepahitan yang sangat besar dengan sosok orang tua, terutama ayah saya. Pikiran saya berkecamuk tiada henti dengan berbagai macam pertanyaan,”Alangkah bodohnya bisa kehilangan rumah karena usaha, bapak orang lain habis usaha jadi tambah kaya raya, bapak saya sendiri sehabis usaha malah jadi gembel, sungguh nasib yang tidak adil.” Setiap kali kami sebagai keluarga bertemu selalu terjadi pertengkaran, perdebatan, adu mulut karena ketidakmampuan untuk menerima kondisi yang menimpa kami.
Kepahitan tersebut saya bawa selama saya bekerja dan bertahun-tahun lamanya karena saya masih shock dengan keadaan kami. Saat itu, saya sendiri pun tidak sadar bahwa saya menyimpan suatu kepahitan yang besar dan memiliki dampak tidak langsung yang dihasilkan ke orang-orang di sekitar saya : saya menjadi cepat marah, merasa pintar sendiri dan suka memaksa orang lain untuk mengikuti keinginan saya. Tidaklah aneh kalau orang – orang di sekitar saya menjauh dan menyisakan saya hanya dengan sahabat-sahabat terbaik saya yang bahkan pada saat itupun menegur saya karena saya sangat self-centered.
Diingatkan Oleh Salib-Nya
Pada akhirnya di saat dinas ke suatu daerah di Tapanuli saya menyempatkan pergi ke suatu tempat wisata rohani yang dinamakan Salib Kasih, dimana di tempat tersebut berdiri suatu salib besar dengan tulisan ‘kasih’ di salibnya.
Saat melihat salib tersebut saya teringat kembali kepada kisah di saat Tuhan Yesus disalib. Tentu teman – teman sudah tidak asing dengan kisah Yesus pada saat detik-detik menjelang Ia disalib :
1. Yesus dikhianati oleh muridnya sendiri yang telah Ia ajar dan bimbing sejak awal (Mat 26:14-16)
2. Yesus disangkal sebanyak 3 kali oleh muridnya yang berjanji dengan lantang tidak akan membiarkan hal buruk apapun menimpa-Nya (Matius 16:22)
3. Tidak ada satupun dari murid maupun orang yang telah dibantu lewat mukjizat dan pengajaran Yesus yang datang dan berusaha membela Yesus, hanya seorang asing dari luar kota yang bernama Simon membantu memikul salib Yesus, itu pun karena dipaksa (Matius 27:32)
Namun, apakah respon dari Kristus dalam menjalani seluruh kepahitan tersebut? Apakah Dia berteriak marah-marah? Menggunakan kuasa-Nya sebagai anak Allah untuk membalas?
Lukas 23:34 (TB) mencatat:
‘Yesus berkata : “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” Dan mereka membuang undi untuk membagi pakaian-Nya.’
Belajar dari Respon Kristus
Yesus merespon dengan mendoakan dan meminta kepada Bapa agar orang – orang yang menyakiti Dia diampuni. Hal yang sangat aneh, bukankah Dia telah disakiti dan dikecewakan sebegitu besarnya bukan saja oleh para prajurit dan ahli-ahli Taurat, terlebih lagi oleh para pengikut-Nya sendiri yang meninggalkan Dia? Kenapa Ia masih bisa melepaskan pengampunan sampai akhir? Bukankah di zaman sekarang kalau ada yang menyakiti kita seharusnya kita balas berkali-kali lipat?
“Yesus merespon dengan mendoakan dan meminta kepada Bapa agar orang – orang yang menyakiti Dia diampuni”
Teman – teman yang terkasih, respon dari Kristus merupakan salah satu bentuk kasih yang paling dasar : tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Mengapa Ia mampu melakukan hal tersebut? Karena Yesus sudah mengenal Tuhan Allah terlebih dahulu dan orang-orang yang menyakiti dan menganiaya Dia belum mengenal Allah secara pribadi, oleh sebab itu mereka belum mengerti tentang arti dari kasih. Bagaimana mungkin orang yang belum mengerti arti dari kasih mampu mempraktekkannya?
Sama seperti saat saya pahit dengan ayah saya, saya berekspektasi lebih kepada dia untuk memikirkan keadaan keluarga dan tidak hanya melihat kepentingan diri sendiri. Saya sangat kecewa pada saat dia berani mengambil hutang tanpa pikir panjang bagaimana resikonya kepada keluarga, dan bahkan pada saat kami sudah kehilangan rumah, saya lebih marah dan kecewa lagi karena di keluarga saya hanya ada budaya saling menyalahkan. Tanpa sadar saya pun mengikuti budaya tersebut dan terjerumus dalam kedengkian dan rasa benci dalam hati. Namun, setelah melirik kembali kisah Yesus tersebut, saya justru berbalik malu karena sebagai anak Allah, saya sudah merasakan kasih-Nya lewat pengalaman pribadi saya, di mana keluarga saya belum. Sebagai anak Allah saya pun sudah memiliki otoritas dan kemampuan untuk melepaskan pengampunan seperti Yesus.
Melangkah Keluar dari Masa Lalu
Teman – teman sekalian, ketahuilah bahwa Bapa kita yang ada di sorga tidak menginginkan kita menyimpan kepahitan di masa lalu. Karena bagaimana mungkin kita dapat menjalani panggilan-Nya di dunia apabila kita masih terhalang oleh rasa pahit yang kita bawa? Kita berhak untuk menjadi bahagia, memiliki hubungan yang baik dengan keluarga dan teman, serta membawa ‘rasa asin’ dan ‘terang’ ke setiap orang yang kita temui. Jangan biarkan rasa pahit menghentikan kita dari masa depan yang sudah Tuhan siapkan untuk kita.
Saya ingin mengajak teman-teman yang masih merasa pahit/kecewa dengan orang lain di masa lalu untuk mendoakan orang tersebut seperti yang telah Yesus lakukan :
“Ya Tuhan, saat ini saya masih merasa kecewa dan marah dengan perlakuan dari <nama orang>, namun, ampunilah dia karena dia tidak tahu apa yang dia lakukan. Bantulah saya agar terlepas dari tindakannya di masa lampau kepada saya, saya tetap mampu untuk menunjukkan kasih kepadanya, sama seperti kasih yang telah Engkau perlihatkan kepada saya saat Engkau memilih untuk mati di kayu salib. Amin.”
Ketahuilah bahwa setelah mendoakan dan melepaskan pengampunan, anda akan merasa merdeka dan secara ajaib hubungan anda dengan orang tersebut akan berangsur-angsur kembali pulih, sama seperti hubungan saya dengan ayah saya. Tidak ada yang dapat mengubah kejadian di masa lalu, namun kita punya pilihan untuk memilih masa depan seperti apa yang kita inginkan. Selama keinginan kita sesuai dengan kehendak Tuhan, tentunya Dia tidak akan membiarkan anda melangkah sendirian.
Sparks! merupakan sarana renungan kristen yang bertujuan untuk memperlengkapi kehidupan saat teduh setiap orang percaya. Sparks! akan membagikan konten renungan dalam berbagai topik mulai dari doa, iman, keselamatan, kasih, komunitas, keluarga, dan masih banyak lagi. Jika setelah membaca artikel ini anda tergerak untuk berkontribusi melalui wadah ini, anda dapat menghubungi kami melalui email ke daylightworks@gmail.com.
Bagus dan saya sangat terberkati dengan kesaksian kk di artikel ini! Thankyou and God bless ya
LikeLiked by 1 person
Sama-sama FS, Tuhan Yesus memberkati ya.
LikeLike